Selasa, 24 April 2018

Teori Pertukaran Kasih Sayang


            Banyak hubungan antarpribadi diprakarsai dan dipelihara melalui pertukaran peilaku-perilaku kasih sayang, seperti memeluk, berciuman, pegangan tangan, atau dengan mengatakan “Aku cinta padamu”. Tentu saja pernyataan-pernyataan kasih sayang sering bertindak sebagai saat yang menentukan yang mempercepat pengembangan hubungan. Namun demikian, komunikasi penuh kasih sayang berkontribusi tidak hanya kepada kesehatan tentang hubungan,tetapi juga kepada kesehatan orang itu sendiri. Mengapa umat manusia terlibat dalam perilaku penuh kasih sayang, dan mengapa hal ini di hubungkan dengan manfaat- manfaat ini, adalah di antara pertanyaan-pertanyan yang di sampaikan oleh teori pertukaran kasih sayang atau affection exchange theory disingkat AET (Budyatna, 2015: 301).
            Menurut Budyatna (2015: 302) AET merupakan teori ilmiah tujuan utamannya ialah untuk menerangkan mengapa umat manusia mengkomunikasikan kasih sayang terhadap satu sama lain, dan dengan konsekuensi-konsekuensi apa. Secara paradigmatik, teori ini paling dekat cocok dalam tradisi post-positivist. Asumsi-asumsi pokok AET bersifat realistis dalam pemikiran Neo-Darwinian  (Budyatna, 2015: 302), terutama sekali sejauh asumsi-asumsi itu mengira bahwa:
a.         Reproduksi dan kelangsungan hidup keduanya merupakan tujuan-tujuan manusia yang unggul.
b.        Perilaku-perilaku komunikasi dapat bertindak satu atau keduanya tentang tujuan-tujuan yang unggul ini bahkan dalam cara-cara spekulatif.
c.         Individu-individu tidak perlu sadar tentang tujuan-tujuan evolusioner yang perilaku-perilaku mereka lakukan.
Ciri-ciri Utama Teori dalam Budyatna :
AET memulai dengan proposisi bahwa “kebutuhan dan kapasitas untuk kasih sayang adalah pembawaan sejak lahir” (proposisi 1). Yaitu, manusia dilahirkan dengan kemampuan dan kebutuhan untuk merasakan kasih sayang, yang didefinisikan sebagai keadaan internal tentang kemesraan dan penuh semangat positif bagi sasaran hidup. Proposisi ini memiliki dua implikasi penting, yang pertama ialah bahwa umat manusia tidak perlu belajar merasakan kasih sayang, tetapi bahwa kedua kemampuan itu dan kebutuhan untuk mengalami kasih sayang adalah pembawaan lahir. Implikasi yang kedua ialah bahwa kebutuhan akan kasih sayang adalah pokok dalam rumpun manusia, yang mengimplikasikan manfaat-manfaat apabila ini terpenuhi dan konsekuensi-konsekuensi negatif apabila tidak terpenuhi (Budyatna, 2015: 303).
Proposisi kedua mengenai AET ialah bahwa perasaan-perasaan penuh kasih sayang dan “pernyataan-pernyataan penuh kasih sayang adalah berbeda pengalaman-pengalaman yang sering kali, tetapi tidak selalu, berbeda” (proposisi2).  Di sini, teori ini membedakan antara pengalaman emosional tentang kasih sayang dan perilaku-perilaku melalui dimana kasih sayang dijadikan nyata. Perbedaan ini adalah penting untuk dua alasan (Budyatna, 2015: 303).
Pertama, umat manusia memiliki kemampuan untuk mengalami kasih sayang tanpa menyatakan perasaan-perasaan tersebut. Orang dapat memiliki perasaan-peraaan penuh kasih sayang bagi orang lain, tetapi gagal untuk menyatakannya, tidak ada rasa takut tentang penolakan atau untuk menghormati kepada hambatan-hambatan sosial tentang konteks (Budyatna, 2015: 303).
Kedua, umat manusia dapat menyatakan kasih sayang tanpa merasakannya, yang umat manusia sering lakukan dalam mematuhi tentang norma-norma kesopan santunan. Pernyataan-pernyataan ini dapat juga bertindak sebagai motif-motif tersembunyi, seperti perolehan kebaikan (Budyatna, 2015: 303).
            Ketiga, mungkin sebagai proposisi yang paling penting ialah bahwa “komunikasi yang penuh kasih sayang bersifat adaptif berkenaan dengan kelangsungan hidup manusia dan kesuburan” (proposisi 3). Ini merupakan inti mengenai AET, asumsi bahwa menerima dan menyampaikan pernyataan-pernyataan penuh kasih sayang berkontribusi bagi kelangsungan hidup dan keberhasilan reproduksi. Lebih khusus subproposisi-subproposisi mengidentifikasi dua jaringan-jaringan kausal yang utama melalui mana komunikasi dengan penuh kasih sayang membantu tujuan-tujuan yang unggul ini (Budyatna, 2015: 304).
            Secara konseptual, AET hanya mendefinisikan komunikasi “penuh kasih sayang” atau affectionate, dari pada komunikasi pada umumnya, meskipun beberapa konsep-konsep yang lebih luas mengenai komunikasi dapat berasal dari pendekatannya. Dalam teori “komunikasi penuh kasih sayang” didefinisikan sebagai meliputi perilaku-perilaku itu yang menyampaikan perasaan-perasaan tentang kemesraan dan apresiasi positif yang bersemangat, dan secara umum di terima sedemikian rupa oleh para penerima yang mereka maksudkan. Meskipun bentuk-bentuk tentang memperlihatkan kasih sayang sebagian besar di bentuk norma-norma cultural dan didesak oleh tuntutan-tuntutan kontekstual, hal ini merupakan gambaran (apakah tepat atau tidak) tentang sebuah perasaan penuh kasih sayang yang memenuhi syarat sebuah pernyataan perilaku sebagai penuh kasih sayang (Budyatna, 2015: 305).

Rujukan

Budyatna, Muhammad. 2011. Teori Komunikasi Antarpribadi. Jakarta: Kharisma Putra Utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Resume Jurnal