Banyak hubungan antarpribadi
diprakarsai dan dipelihara melalui pertukaran peilaku-perilaku kasih sayang,
seperti memeluk, berciuman, pegangan tangan, atau dengan mengatakan “Aku cinta
padamu”. Tentu saja pernyataan-pernyataan kasih sayang sering bertindak sebagai
saat yang menentukan yang mempercepat pengembangan hubungan. Namun demikian,
komunikasi penuh kasih sayang berkontribusi tidak hanya kepada kesehatan
tentang hubungan,tetapi juga kepada kesehatan orang itu sendiri. Mengapa umat
manusia terlibat dalam perilaku penuh kasih sayang, dan mengapa hal ini di
hubungkan dengan manfaat- manfaat ini, adalah di antara pertanyaan-pertanyan
yang di sampaikan oleh teori pertukaran kasih sayang atau affection exchange theory disingkat AET (Budyatna, 2015: 301).
Menurut Budyatna (2015: 302) AET merupakan teori ilmiah tujuan
utamannya ialah untuk menerangkan mengapa umat manusia mengkomunikasikan kasih
sayang terhadap satu sama lain, dan dengan konsekuensi-konsekuensi apa. Secara
paradigmatik, teori ini paling dekat cocok dalam tradisi post-positivist. Asumsi-asumsi pokok AET bersifat realistis dalam pemikiran Neo-Darwinian (Budyatna, 2015: 302), terutama sekali sejauh
asumsi-asumsi itu mengira bahwa:
a.
Reproduksi dan
kelangsungan hidup keduanya merupakan tujuan-tujuan manusia yang unggul.
b.
Perilaku-perilaku komunikasi
dapat bertindak satu atau keduanya tentang tujuan-tujuan yang unggul ini bahkan
dalam cara-cara spekulatif.
c.
Individu-individu tidak
perlu sadar tentang tujuan-tujuan evolusioner yang perilaku-perilaku mereka
lakukan.
Ciri-ciri
Utama Teori dalam Budyatna :
AET
memulai dengan proposisi bahwa “kebutuhan dan kapasitas untuk kasih sayang
adalah pembawaan sejak lahir” (proposisi 1). Yaitu, manusia dilahirkan dengan
kemampuan dan kebutuhan untuk merasakan kasih sayang, yang didefinisikan
sebagai keadaan internal tentang kemesraan dan penuh semangat positif bagi
sasaran hidup. Proposisi ini memiliki dua implikasi penting, yang pertama ialah
bahwa umat manusia tidak perlu belajar merasakan kasih sayang, tetapi bahwa
kedua kemampuan itu dan kebutuhan untuk mengalami kasih sayang adalah pembawaan
lahir. Implikasi yang kedua ialah bahwa kebutuhan akan kasih sayang adalah
pokok dalam rumpun manusia, yang mengimplikasikan manfaat-manfaat apabila ini
terpenuhi dan konsekuensi-konsekuensi negatif apabila tidak terpenuhi
(Budyatna, 2015: 303).
Proposisi
kedua mengenai AET ialah bahwa
perasaan-perasaan penuh kasih sayang dan “pernyataan-pernyataan penuh kasih
sayang adalah berbeda pengalaman-pengalaman yang sering kali, tetapi tidak
selalu, berbeda” (proposisi2). Di sini,
teori ini membedakan antara pengalaman emosional tentang kasih sayang dan
perilaku-perilaku melalui dimana kasih sayang dijadikan nyata. Perbedaan ini
adalah penting untuk dua alasan (Budyatna, 2015: 303).
Pertama,
umat manusia memiliki kemampuan untuk mengalami kasih sayang tanpa menyatakan
perasaan-perasaan tersebut. Orang dapat memiliki perasaan-peraaan penuh kasih
sayang bagi orang lain, tetapi gagal untuk menyatakannya, tidak ada rasa takut
tentang penolakan atau untuk menghormati kepada hambatan-hambatan sosial
tentang konteks (Budyatna, 2015: 303).
Kedua,
umat manusia dapat menyatakan kasih sayang tanpa merasakannya, yang umat
manusia sering lakukan dalam mematuhi tentang norma-norma kesopan santunan.
Pernyataan-pernyataan ini dapat juga bertindak sebagai motif-motif tersembunyi,
seperti perolehan kebaikan (Budyatna, 2015: 303).
Ketiga, mungkin sebagai proposisi
yang paling penting ialah bahwa “komunikasi yang penuh kasih sayang bersifat
adaptif berkenaan dengan kelangsungan hidup manusia dan kesuburan” (proposisi
3). Ini merupakan inti mengenai AET,
asumsi bahwa menerima dan menyampaikan pernyataan-pernyataan penuh kasih sayang
berkontribusi bagi kelangsungan hidup dan keberhasilan reproduksi. Lebih khusus
subproposisi-subproposisi mengidentifikasi dua jaringan-jaringan kausal yang
utama melalui mana komunikasi dengan penuh kasih sayang membantu tujuan-tujuan
yang unggul ini (Budyatna, 2015: 304).
Secara
konseptual, AET hanya mendefinisikan
komunikasi “penuh kasih sayang” atau affectionate,
dari pada komunikasi pada umumnya, meskipun beberapa konsep-konsep yang lebih
luas mengenai komunikasi dapat berasal dari pendekatannya. Dalam teori
“komunikasi penuh kasih sayang” didefinisikan sebagai meliputi
perilaku-perilaku itu yang menyampaikan perasaan-perasaan tentang kemesraan dan
apresiasi positif yang bersemangat, dan secara umum di terima sedemikian rupa
oleh para penerima yang mereka maksudkan. Meskipun bentuk-bentuk tentang
memperlihatkan kasih sayang sebagian besar di bentuk norma-norma cultural dan didesak oleh
tuntutan-tuntutan kontekstual, hal ini merupakan gambaran (apakah tepat atau
tidak) tentang sebuah perasaan penuh kasih sayang yang memenuhi syarat sebuah
pernyataan perilaku sebagai penuh kasih sayang (Budyatna, 2015: 305).
Budyatna,
Muhammad. 2011. Teori Komunikasi Antarpribadi. Jakarta: Kharisma Putra Utama.