Lagi iseng waktu itu buat ini, cerpen iseng - iseng aja. Terinsirasi dari pengalaman pribadi walu ngga semua betul haha.
Setiap hari gadis itu mengeluh,
tiada hari tanpa mengeluh, dia belum biasa menerima kenyataan. Penyesalaan
selalu bersarang dipikirannya. Saat ia melihat sekelilingnya mukanya murung dan
tidak ada semangat. Dia berada di suatu tempat tetapi pikiran tidak serupa.
Bukit
yang hijau udara sejuk dan pemandangan yang indah tidak lepas dari
pandangannya. Suara kicawan burung yang menyambut perjalanan ini. Suara air yang seakan menyanyi. Indahnya alam
Indonesia takan terganti. Gita termenung dengan pemandangan di sekelilingnya.
Pemandangan yang belum pernah ia liat sebelumnya. Selama ini Gita hanya melihat
bangun yang menjulang tinggi keawan. Matanya yang sembam mulai berahli menjadi
senyum manis yang menghiasi wajahnya.
Ahkirnya
Gita sampai di rumah nenek. Nenek sangat antusias dengan kedatangan Gita. Sudah
lama Gita tidak pulang kedesa, terakhir Gita datang saat dirinya masih
menggunakan baju putih biru. Sekarang Gita sudah besar usianya menginjak 17
tahun. “Gita ayo makan nak” ujar nenek yang sudah merindukannya. Gita kembali
termenung mengingat teman-temannya yang jauh menembus awan. Nenek mengulangi
kata-kata hingga tiga kali dan Gita tersentak dari lamunanya. Gita berjalan
dengan muka merengut.
“Gita
kenapa kamu masih sedih?” ucap nenek dengan tatapan serius. “tidak nek” ucap
Gita dengan singkat. “Gita tidak boleh
memandang sesuatu dengan sebelah mata, coba
lihat dari segi lain pasti kamu melihat
objek yang indah” ucap om Gita yang duduk di samping neneknya. Gita hanya
mengangguk dan melanjutkan makannya. Gita masih belum bisa menerima kenyataan
karena ayahnya baru saja pindah dinas kedesa dan akan menetap. Selama ini Gita
tinggal di kota metropolitan.
Setelah
makan siang di rumah nenek, Gita dan keluarga beranjak kerumah yang akan mereka
tempati. Gita dan keluarga berpamintan kepada seluruh orang yang ada di rumah
nenek. Kembali Gita memikirkan temannya. “Gitaaa awas...” teriak ibunya dari
kejauhan. Gita tersadar dan menghindar dari batu yang ada didepannya. Gita terkejud
hampir saja ia jatuh. “sudah ibu bilang jangan banyak melamun nak, Gita harus
bisa move on” ujar ibu Gita yang mermuka
jengel. “ih... ibu so gaul pake kata-kata move on kaya ngerti aja, gita ngga
apa apa ko bu.” Ejek Gita dengan muka tersenyum.
Gita
masuk kedalam kamarnya dan meletakan barang-barangnya dilantai. Gita membuka
jendela dan menatap kearah pegunungan. Dalam hati kecilnya ia bersyukur atas
keindahan yang sebelumnya tak pernah ia rasakan. “gimana kamar barunya kamu
suka?” ujar ibu Gita di depan pintu
kamar. “suka banget deh bu, makasih ya, tau aja aku suka cat pink” Gita
menjawab dengan meliat cat kamar yang berwarna merah jambu. “Iya nak. Ini
inisatif ayah, kamu harus berterimaka kasih juga sama ayah. “iya bu” jawab gita
dengan muka tersenyum.
Gita
masuk kedalam kamar, sebelum tidur Gita asik BBMan kepada teman-teman yang berada di pulau berbeda. Gita curhat kepada
Nisa sabahatnya. Gita mengeluh besok dirinya akan sekolah di tempat yang baru.
“udah git ngga usah banyak mikir, kamu jalanin aja. Semua pasti akan indah pada
waktunya. Sekarang kamu tidur ya” chattingan Nisa mengakhiri percakapan mereka.
Gita kekamar mandi lalu bersuci sebelum tidur.
Hari
sudah pagi ayam dengan nyaring membangunkan Gita dari tidur lelapnya. Sama
seperti gadis remeja lainnya gita bangun untuk mandi dan sarapan. Hari ini
adalah hari yang menebarkan bagi Gita, karena ia akan masuk kesekolah yang
baru. “Gitaaa ayo nak nanti kita terlambat!” teriak ayah sambil memanaskan kendaraan roda
dua. Hari pertama dirinya sekolah masih diantar karena belum mengetahui
angkutan umum yang mana sampai sekolah.
Beberapa
menit kemudian tiba Gita di sekolah barunya, jantungnya berdetak lebih kencang.
Keringatnya bercucuran, tanggan dingin seperti es, dan badannya gemar seperti orang
sakit. Senin ini Gita tidak ikut upacara karena dia masih murid baru. Setelah
upacara selesai ayah mengantar Gita sampai kelasnya. “oh.. ini anak bapak ya?”
Sahut ibu guru dari dalam kelas. “iya bu, ini anak saya” balas ayah Gita dari
luar kelas. Gita masuk kedalam kelas dan melihat teman-temannya dari depan
kelas dengan muka pucat. Gita berkenalan didepan kelas.
Berjalan
Gita ketempat duduk yang kosong dengan bunyi sepatu yang nyaring tak, tok, tak,
tok. Seluruh murid memandangnya termaksud Ina yang duduk sendiri. “mari gita
duduk disampingku” sahut Ina dengan suara lantang dan tersenyum cerah. Gita
tersenyum kepada Ina, dan duduk disamping Ina dalam hatinya berbisik kayanya
dia baik. “nama kamu siapa?” tanya Gita. “namaku rezekina aku bisa dipanggil Ina”
sambil mengulurkan tanggannya. Mereka berbincang-bincang dengan suara berbisik
sambil memerhatikan guru.
“hahaha..
lihat si gendut ini punya teman” teriak Yuda murid paling nakal disekolah. Ina
memasang muka merenggut. “itu siapa na? . Ko dia jahat banget sama kamu” tanya
Gita dengan bingung. Ina masih murenggut lalu ia menengok ke arah Gita “dia itu
Yuda, dia selalu mencelah aku setiap hari. Gara-gara dia aku ngga punya temen
akun benci banget sama dia git”. Gita mulai mengerti kenapa Ina duduk sendiri,
karena Ina selalu diejek Yuda. Sampai akhirnya Ina tidak punya temen, Ina
memiliki fisik yang besar sehingga selalu dihina.
Hari
mulai sangat panas, waktunya persekolahan usai. Gita pulang bersama Ina rumah
mereka ternyata satu arah. Mereka naik angkutan yang sama, tetapi Gita turun
terlebih dahulu. “Ina aku turun ya nanti kita BBMan dadah...!” sambil turun
dari angkut Gita berbicara. Ternyata sekolah barunya menyenangkan tidak seperti
yang ia bayangkan, teman-teman sangat ramah. Gita terdiam sejenak ia melihat
pegunungan yang indah lalu mengeluarkan handphonenya untuk memotret . sambil
berjalan iya memasukan fotonya ke Internet.
Tiba
Gita di rumah dimengucap salam lalu menyalim ibunya, kemudia ia makan siang dan
ibadah. Walau masih muda ibadah Gita tidak penah tinggal. Gita masuk kekamarnya
dengan memegang handphone ia melihat foto yang ia masukkan di Internet tadi.
Ternyata sudah banyak orang yang menyukai foto Gita dan berkomentar baik.
“tidakku sangka foto ini banyak yang menyukai dan berkomentar positif” Gita
tersenyum – senyum sendiri.
Gita
mengingat kata – kata omnya, dia harus melihat sesuatu harus dari segi yang berbeda. Gita berpikir bahwa dia harus
melihat dari sisi lain agar menemukan keindahan dan tidak harus dengan sisi
yang sama seperti yang lain. “Aku harus sukses dimanapun aku berada” ucap Gita
sambil berbaring. Ia mulai membaca di Internet kiat-kiat memotret dan cara
mudah memotret dengan hasil yang bagus. Gita mengingat – ingat komentar fotonya
di Internet tadi, ada yang meminta foto-foto yang diambil Gita.
Setiap
hari Gita menjalani aktivitasnya disekolah setiap ada kejadia yang keren ia
langsung memfotonya. Ia mulai lupa dengan kesedihan terhadap sahabat yang sudah
jauh. Dia sudah mulai menyesuaikan diri di desa dan temen – temen barunya.
“awas ada bola gitaaa...” teriak Ina dengan suara keras. “kamu itu ngga ada
kerjaan ya untuk apa kamu memoto aku, waktu aku main bola ? Dasar gadis kota
tak berguna” teriak Yuda sambil menujuk-nunjuk Gita. Seketika Gita menangis
melihat handphonenya terjatuh terkena tendangan bola Yuda.
Gita
masuk kelas dan menangis dipelukan Ina. “sekarang handphoneku rusak ” sambil menangis. “sudah – sudah nantikan bisa
diperbaik sepertinya tidak parah git. Kamu ngapain sih memoto dia?” jawab Ina
sambil melihat Gita sinis. “tapi na itu
kelebihan aku. Aku juga bermaksud mengambil foto peristiwanya aja, bukan
bermaksud untuk memoto Yuda bermain bola” jawab Gita sambil berhenti menangis.
Sejak pertama Gita memiliki handphone berkamera, ia mulai suka memotret kejadian
yang menurutnya menarik.
Gita bercerita kepada Ina, ia
berjanji kepada sahabatnya akan kembali ke kota metropolitan dan sekolah
disana. Tetapi dalam tekatnya untuk kembali Gita ingin menghasilkan prestasi.
Dia berjanji saat dirinya sukses Gita akan kembali bersama sahabat-sahabatnya.
Gita belum bisa melupakan sahabat – sahabatnya di pulau yang berbeda itu.
Setiap minggu Gita bervideo call dengan teman – temannya, dari layar
handphonenya ia dapat melihat temen – teman yang jauh.
“bila seperti ini terus aku ngga
bisa komunikasi dengan mereka dan aku tidak bisa berkarya lagi. Bakatku disitu
na” ujar Gita sambil menghembuskan nafas panjang. “yaudah pulang sekolah ini
kita ke tempat betulin handpone dulu” Saran Ina kepada Gita. Bel berbunyi
saatnya Gita dan Ina pulang. Mereka memperbaiki handphone Gita, tetapi sayang
handphone Gita harus di tinggal selama tiga hari.
Akhirnya handphone Gita sembuh dan
bisa digunakan lagi. Gita bisa berkarya lagi ia dapat memasukan foto-fotonya ke
Interner. “Gita ibu lihat suka memoto ya, tidak jarang ibu lihat Ina yang
menjadi modelnya. Kamu punya foto – foto kegiatan bola waktu itu” tanya ibu
guru. “ ada ibu, untuk apa ibu menanyakannya”. “kamu bisa buat majalah dinding
sekolah untuk minggu ini. Nanti ina yang akan membantu kamu dia kan jago dalam
bahasa”. “iya bu kami usahakan”. Ina dan Gita mengerjakannya sehabis pulang
sekolah.
“Hebat Git takku sangka ternyata hasil
majalah dinding kalian keren” ujar Yuda dari pintu kelas dengan suara nyaring. Gita
menjawab “itu bukan karya aku aja. Disitu ada karya Ina juga”. “tak ku sangka
ternyata kalian berdua berbakat. Maaf ya selama ini aku suka meremehkan dan
mengejek kalian. Karya kalian bagus kalian jangan berhenti berkarya ya”. Ina
dan Gita tersenyum mereka berjabat tanggan dengan Yuda. Mulai saat itu Yuda
selalu mendukung Ina dan Gita, mereka bersahabat.
Saat pengumuman kelulusan tiba Yuda
diterima di Universitas Negeri dengan jurusan Guru olah raga dan Ina dengan
jurusan guru bahasa Indonesia. Sedangkan Gita berhasil masuk Universitas di luar
negeri dengan jurusan yang selama ini ia impikan fotografi. Tapi sayangnya Gita
bimbang untuk menerimanya. Gita adalah anak satu – satunya, orang tuanya tak
muda lagi ia tidak tega meninggalkan orang tuanya. Siapa yang akan merawat
orang tua bila Gita pergi jauh. Dalam doa Gita menangis dan bingung menentuka
keputusan.
Ayah Gita selalu berucap “doa dapat
menembus langit ketujuh nak”. Cita – cita untuk sekolah tinggi terwujud. Gita
akan ke bandara internasional sebeleum keluar negeri, ia akan bertemu dengan
sahabat lamanya. Foto – foto yang selama ini dimasukkan ke Internet memiliki
banyak penyuka. Gita dapat berkarya walau hanya di desa, ia bahkan mendapat
kamera canggih karena berhasil memenangkan kontes fotografer di Internet. Semua
impian Gita perlahan terwujud dengan doa dan usahanya yang tak pernah putus.
Tapi gita memilih untuk tetap tinggal di
desa, ia memutuskan tidak mengambil beasiswanya di luar negeri. Ia memilih
untuk menjaga orang tua sambil berkarya. “git kamu ngga nyesel ?” ucap ibu
sambil melihat Gita. “ ngga bu aku seneng ko ada di desa ini apa jadinya bila
aku ngga disini. Gita bisa sukses ko bu dimanpun Gita berada.” Ucapnya Sambil
memasukan foto di Internet dan melihat – lihat hasil karyanya. Gita berhasil
membuka toko foto pertama di desanya. untuk beberapa hari Gita dapat ke kota
metropolitan bertemu sahabatnya dan kembali pulang ke desa dan berkarya.